Chapter 7 |
Gadis
mungil
itu berdiri didepan gedung yang menjulang dengan angkuhnya, ragu untuk
melangkah, menimbang kembali keputusannya. Tapi tekadnya sudah bulat,
sekarang atau tidak selamanya! batinnya, ditariknya nafas panjang
sebelum beranjak dan akhirnya disinilah dia berada.
"Maya!
Apa yang kau lakukan disini?!" sapa Mizuki tanpa menutupi
keterkejutannya.
"Se..selamat
pagi" Maya tersenyum kikuk.
“Ada
yang bisa aku bantu?” Mizuki mengamatinya dengan sabar, mengesampingkan
kesibukannya.
"A..apakah aku bisa bertemu dengan Pak Masumi? Sebentar saja, aku janji tidak akan lama" Maya meyakinkan.
Mizuki
bangkit dari duduknya, berjalan melewati maya menuju pintu kayu besar
dibelakangnya, lalu mengetuknya pelan. "Masuk!"
terdengar sahutan dari dalam.
"Waktumu
sepuluh menit dari sekarang!" bisiknya sambil mendorong pelan gadis itu.
Jantung
Maya berdegup tidak karuan, perlahan dia memasuki ruangan luas yang tampak rapi
dan wangi itu. Wajahnya memanas saat dilihatnya sosok pria yang sedang duduk
menekuni layar laptop dihadapannya.
"Ada
apa Mizuki? " Masumi bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop.
Maya
menghela nafas sekilas “Se..selamat pagi” sapanya.
Sontak
pria itu mengangkat wajah saat mendengar suara yang selalu bergema digendang
telinganya, rasanya seperti mimpi melihat sosok mungil dihadapannya “Maya..!”
bisiknya.
“Ma..maaf
mengganggu anda pagi-pagi, aku janji tidak akan lama” kata Maya kepada
sepatunya, tidak berani menatap pria itu.
“Apakah
ada masalah ditempat latihan?” Sahut Masumi cepat, ada nada kekhawatiran pada
suaranya.
Maya
menggelengkan kepalanya, “Lalu...apa yang bisa aku lakukan untukmu?” pria itu
tersenyum hangat, tak pelak gadis itupun meleleh ditempatnya berdiri.
“Ya
Tuhan..kumohon berilah aku kekuatan” bisiknya dalam hati, seraya mengambil
nafas dalam, “Mmm...dari mana ya mulainya?” katanya bingung dan tanpa sadar
menggaruk kepalanya membuat tampangnya terlihat konyol.
“Ppfft...hahaha...”
Masumi tidak dapat menahan tawanya, kepolosan Maya selalu membuatnya lupa akan
siapa dia sebenarnya.
Wajah
Maya memerah, Dasar bodoh!! Apa yang aku lakukan disini? Pasti dia akan
menertawakanku seumur hidup, aduuhhh...apa yang harus aku lakukan? rutuknya
dalam hati.
“Uppss..Maaf,
maafkan aku mungil” Masumi menghentikan tawanya dan berusaha kembali serius. Maya
menghampiri Masumi di mejanya, “Baiklah, aku hanya akan mengatakannya sekali
saja, jadi tolong dengarkan baik-baik!”
Pria
itu menahan nafas, penasaran dengan apa yang akan dikatakan oleh gadis
tercintanya saat tiba-tiba telepon diatas meja kerjanya berdering. Maya
mengatupkan bibirnya yang sudah siap untuk mengeluarkan segala uneg-unegnya. Masumi
mereject pangilan itu, tapi lagi-lagi telepon itu berdering.
“Ada
apa Mizuki?” ada nada kesal dalam suara Masumi, tapi kemudian air mukanya
berubah serius. “Baiklah,
aku akan kesana sekarang, tolong siapkan mobil!” katanya dingin.
Maya
mencoba membaca suasana kira-kira apa yang membuat wajah hangat Masumi berubah
menjadi sedingin es dalam hitungan detik.
“Maaf
Maya, aku harus pergi sekarang” ujar Masumi, penyesalan tergambar jelas pada
sorot mata dan suaranya.
“Eh..tidak
apa-apa, saya bisa menunggu kok” sahut Maya cepat, dia merasa tidak enak karena
sudah mengganggu.
“Kau
yakin? Aku akan segera menghubungimu setelah semua ini kembali normal” Masumi
menghampiri Maya “Sekali lagi maafkan aku karena harus pergi tiba-tiba, Mizuki
akan mengantarmu ke tempat latihan” imbuhnya.
Maya
hanya bisa mengangguk dan tersenyum tidak jelas.
“Mizuki,
tolong antarkan Maya ke gedung KIDS.” Kata Masumi saat Mizuki berjalan
menghampiri mereka berdua didepan pintu ruang kerja Masumi.
Mizuki
mengangguk “Baik Pak.”
Setelah
Masumi berlalu dari hadapan mereka berdua, Mizuki mengambil kunci mobil dan
tasnya “Ayo Maya kuantar sekarang, nanti kau terlambat.” Ajak Mizuki.
“Terima
kasih, tapi anda tidak perlu repot-repot, aku bisa berangkat sendiri kok.” Kata
Maya cepat dan tersenyum singkat pada wanita berambut panjang itu.
“Mana
boleh begitu? Perintah adalah perintah, nanti aku kena marah Pak Masumi kalau
tidak mengantarmu” sahut Mizuki sambil meraih tangan Maya.
“Ehhh...!!!”
Maya terhuyung saat tubuhnya ditarik secara tiba-tiba, “Mmm..maaf
bukannya aku ingin ikut campur, tapi apakah semuanya baik-baik saja?” tanyanya
setelah bisa mengimbangi langkah wanita anggun itu.
Mizuki
terdiam, tampak menimbang sebelum akhirnya menoleh pada Maya, “Kondisi Nona
Shoiri kritis.” Sahutnya pelan.
“Ya
Tuhan !!” Maya menutup mulut dengan kedua tangannya, “Apakah dia akan baik-baik
saja?” ujarnya khawatir.
“Kita
hanya bisa berharap yang terbaik untuknya.” ujar Mizuki sambil membawa mobilnya
meninggalkan gedung Daito dengan kecepatan sedang, lalu lintas Tokyo pagi itu
belum terlalu padat, tapi pejalan kaki sudah mulai memadati trotoar.
Maya
termangu menatap jalanan didepannya “Nona Mizuki, Mmm.. apakah anda mau
mengantar saya ke Rumah Sakit?” katanya pelan.
Mizuki
tersentak mendengar permintaan Maya yang begitu tiba-tiba “Maya... kau yakin?!”
“Kumohon,
siapa tahu ada yang bisa kita lakukan untuk nona Shiori.” ujarnya meyakinkan
walaupun dia sendiri juga tidak tahu apa yang akan dilakukannya nanti.
Mizuki
melirik Maya sekilas dan tak urung memutar balik setirnya saat dilihatnya tak
ada keraguan sedikitpun pada sorot mata gadis itu. Maya
menggigit bibirnya saat mendengar penuturan Mizuki tentang kondisi Shiori
beberapa waktu terakhir ini, perlahan perasaan iba menjalar dalam hatinya.
Mereka
berdua bergegas menuju ruang emergency begitu sampai di rumah sakit, tapi
disana kosong. Maya berdoa dalam hati mencoba menghapus pikiran buruk yang
menyerbunya, Mizuki bertanya pada seorang perawat yang sedang berjaga dan
ternyata Shiori telah dipindahkan keruang ICU untuk perawatan intensif. Setelah
mengucapkan terima kasih mereka bergegas menyusuri koridor menuju ruang ICU,
Rumah Sakit ini sudah seperti kantor kedua bagi Mizuki karena sering
menggantikan Masumi menjenguk Shiori.
Nyonya
Takamiya duduk gelisah disebuah ruang tunggu tak jauh dari ruang ICU bersama
salah seorang asistennya, beliau akhirnya menurut setelah Masumi meyakinkannya
untuk tidak beranjak sedikitpun dari tempatnya berdiri saat ini, didepan ruang
ICU.
"Pak Masumi!! Bagaimana keadaan Nona Shiori?" Maya menghampiri Masumi disusul oleh Mizuki dibelakangnya.
"Maya!!"
tatapan matanya beralih dari Maya ke Mizuki meminta penjelasan.
Mizuki
sudah akan memberikan penjelasan kepada atasannya "Saya yang minta diantar
kesini" sahut Maya mencoba menengahi, Mizuki hanya mengangguk sekilas
membenarkan ucapan gadis itu.
Pria
itu menghela nafas berat, "Tapi bagaimana dengan latihanmu?" pria itu
tampak gusar.
"Nngg..i..itu" Maya terbata ingat bahwa dia belum memberi kabar ketempat latihan.
“Mizuki
tolong hubungi Pak Kuronuma, katakan padanya aku akan mengantar Bidadari
Merahnya setelah semua urusan disini beres.”
“Baik
Pak!” Mizuki pun mohon diri untuk menelpon, dan sekarang tinggal Maya dan
Masumi yang menunggu didepan ruangan itu.
“Bagaimana
keadaannya?” gadis itu bertanya kembali.
“Masih
belum lewat masa kritis, dokter masih memeriksanya didalam.”
Sesaat
kemudian dokter keluar dari ruang ICU “Tuan Masumi, bisa ikut keruangan saya
sebentar?”
“Baiklah
Dokter,” sahut Masumi, seraya berbalik “Maya, tunggu sebentar ya, aku tidak
akan lama” ujarnya, Maya hanya mengangguk menyanggupi.
Masumi
menghampiri Nyonya Takamiya diruang tunggu, kemudian tampak keduanya berjalan beriringan
menyusuri koridor yang tampak lengang.
“Bagaimana
keadaan anak saya Dok?” berondong Nyonya Takamiya tak dapat menahan rasa
cemasnya.
“Tenanglah
Nyonya, kondisinya sudah stabil walaupun masa kritisnya belum lewat.” kata Dokter
itu menenangkan “Ada
beberapa hal yang perlu saya sampaikan, untuk itulah saya mengajak anda berdua
kemari.” tambahnya.
“Ada
apa Dok?” Nyonya Takamiya semakin cemas.
Mereka
bertiga
duduk dalam ruangan yang didominasi warna putih, bernuansa
modern minimalis.“Kami akan memajukan jadwal transfusi darah dari jadwal
sebelumnya setelah lewat masa kritisnya.” terang Dokter.
“Apakah
itu tidak apa-apa.” kali ini Masumi angkat bicara.
“Ini
normal karena Transfusi darah sangat dibutuhkan pada penderita thalasemia
sedang ataupun berat. Dengan transfusi darah, kadar sel darah merah dan kadar
hemoglobin dapat dipertahankan, yang jadi masalah adalah saat ini persediaan
golongan darah A Rhesus Negatif di bank darah Rumah Sakit sedang kosong.” Pria berambut putih
itu manambahkan dengan hati-hati.
Nyonya
Takamiya terbelalak dan meremas tangannya berusaha menahan supaya air matanya
tidak jatuh.
“Pihak
Rumah Sakit sedang mengusahakan menghubungi Japanese Red Cross Society dan mencari donor, tapi sepertinya akan sedikit memakan
waktu, kalau ada donor dari pihak keluarga atau kerabat mungkin akan lebih baik.”
lanjut sang dokter.
“Ambil
darah saya Dok!” ujar Nyonya Takamiya dengan tatapan nanar.
“Tenanglah
Nyonya,
kami perlu melakukan serangkaian tes hingga darah siap untuk proses
transfusi, oleh karena itu supaya tidak membuang waktu lebih baik kita
mulai sekarang
saja, mudah-mudahan ada yang cocok, sehingga besok sudah siap untuk
proses transfusi
darahnya.” Dokter yang sudah berumur itu beranjak dari duduknya dan
mereka pun
beriringan menuju laboratorium.
Masumi
memisahkan diri dari rombongan kecil itu untuk menemui Mizuki di ruang tunggu. “Mizuki..aku
ingin minta tolong padamu kalau kau tidak keberatan.” ucapnya hati-hati, tidak
ingin Maya mendengar pembicaraannya dengan si sekretaris.
“Apa
yang bisa saya bantu Pak?” Mizuki beranjak dari duduknya.
Tatapan
mata Masumi beralih ke Maya “Mungil, tolong tunggu disini sebentar ya.” katanya
pelan sambil tersenyum samar, dia tidak ingin Maya terlibat dalam hal ini.
Gadis itu mengangguk tanpa melepas tatapan matanya dari Masumi. Mereka berdua pun berlalu dari hadapan Maya, merasa ada sesuatu yang disembunyikan darinya gadis itupun diam-diam mengikuti kemana mereka pergi. Maya mengerutkan keningnya saat melihat mereka berdua memasuki sebuah laboratorium.
Gadis itu mengangguk tanpa melepas tatapan matanya dari Masumi. Mereka berdua pun berlalu dari hadapan Maya, merasa ada sesuatu yang disembunyikan darinya gadis itupun diam-diam mengikuti kemana mereka pergi. Maya mengerutkan keningnya saat melihat mereka berdua memasuki sebuah laboratorium.
Sementara
itu di dalam laboratorium, sebelum proses pengambilan sample darah berlangsung,
petugas menanyakan golongan darah para calon donor, mereka diminta untuk
menyerahkan kartu identitas masing-masing. Shiori bergolongan darah A Rhesus
negatif sehingga hanya bisa menerima donor darah dari orang yang bergolongan
darah A Rhesus negatif atau O Rhesus negatif saja.
Sempat
terjadi sedikit keributan karena Nyonya Takamiya bersikukuh supaya bisa ikut
tes darah padahal jelas-jelas golongan darahnya tidak sesuai dengan golongan
darah yang dibutuhkan oleh Shiori. Pada tahap ini hanya Mizuki yang lolos
karena pada kartu identitasnya tertera golongan darah A, sehingga Mizuki bisa
melanjutkan tes selanjutnya untuk melihat Rhesusnya apakah positif atau
negatif.
“Golongan
darah Shiori sama seperti ayahnya, akan tetapi saat ini dia sedang ada
perjalanan bisnis ke Eropa, saya sudah menghubunginya paling cepat lusa baru
akan sampai karena ada badai disana sehingga semua penerbangan dicancel,
bagaimana ini Masumi?” tutur Nyonya separuh baya yang masih terlihat cantik
itu, seraya menatap Masumi nanar.
“Tenanglah
Nyonya, Mizuki akan segera melakukan tes selanjutnya, semoga saja hasilnya
cocok." Masumi menghela nafas sejenak "Bagaimana kalau sebaiknya anda istirahat dirumah, saya akan segera menghubungi
anda setelah hasil tesnya keluar.” ujar Masumi mencoba untuk menenangkan.
Beberapa
saat kemudian tampak Nyonya Takamiya dan asistennya keluar dari laboratorium,
diikuti oleh Masumi dan Mizuki, mereka tampak berbincang sebelum akhirnya
berpisah. Maya memperhatikan semuanya dengan seksama, dan begitu kedua orang
itu kembali keruang laboratorium, diapun mendekat dan mencoba mengintip dari
celah pintu yang kebetulan tidak tertutup rapat.
“Ada
yang bisa saya bantu nona?” tiba-tiba sebuah suara mengejutkannya.
“Ah!!”
Maya tersentak dan buru-buru menjauh dari pintu, seorang wanita berwajah
lonjong dengan jas putih khas laboratorium berdiri dihadapannya. Gadis
itu mundur selangkah “Mmm...maaf, saya sedang mencari paman kecoa, tadi saya
sedang ke toilet saat mereka bilang akan ke laboratorium.” ujarnya dengan
tatapan tanpa dosa khas anak kecil.
“Paman
kecoa?“ ulang petugas itu alisnya bertaut heran.
Maya mengangguk cepat, senyumnya
mengembang “Iya, Apakah anda melihatnya? Paman saya orangnya tinggi, rambutnya
ikal, wajahnya tampan tapi dingin seperti es loli, dia mengenakan setelan warna
abu gelap, dan dia bersama seorang wanita cantik berambut panjang yang memakai
kacamata besar.” sahutnya riang, bukan Maya Kitajima namanya kalau tidak bisa
berakting dengan sempurna.
“Siapa
nama pamanmu itu anak manis?” tanya petugas itu ramah.
“Paman
Masumi.” jawabnya dengan mata berbinar dan lagi-lagi memamerkan senyuman lebar
tanpa dosa membuatnya tampak begitu polos.
Petugas
berkacamata itu terbengong sesaat “Paman Masumi?” batinnya “Kalau yang kau
maksud adalah Pak Masumi Hayami, beliau ada di dalam..” terangnya.
“Apakah
saya boleh masuk sekarang?” sela Maya tak sabar.
“Eh!
Tung..tunggu dulu anak manis, kau tidak boleh masuk sekarang, kecuali kau...” sahut
petugas sambil memandang Maya dengan teliti, masih belum percaya bahwa dia
adalah keponakan Masumi Hayami.
Maya
menunggu sambil terus memandang petugas itu dengan tatapan memohon.
“Kecuali
kau juga ingin mendonorkan darahmu.” lanjut petugas itu.
Donor darah? tiba-tiba
terlintas di benaknya sebuah ide “Justru untuk itulah paman mengajakku kesini.”
Sahutnya cepat.
“Astaga...kenapa
kau tidak bilang dari tadi?” petugas itu memutar bola matanya sambil membuka
pintu kaca dibelakangnya dan aroma khas laboratorium pun lansung menyeruak.
“"Paman...!!!"
desis
Maya dengan mata berbinar, "Kenapa kalian tidak menungguku?"
rajuknya saat melihat Masumi dan Mizuki, keduanya tampak sedang
membicarakan
sesuatu yang serius, mereka berdua terkejut melihat Maya tiba-tiba
muncul dan apa tadi dia bilang? Paman? Sontak wajah Masumi merah padam.
Mizuki menunduk mengulum
senyumnya, tidak tega melihat wajah atasannya yang sudah semerah
kepiting
rebus.
"Maya?!
Apa yang kau lakukan disini?" bisik Masumi sambil menarik tangan gadis itu
"dan tadi kau memanggilku apa?" desisnya gemas.
"Anda
harus lebih hati-hati menjaganya tuan, jangan sampai anak ini tersesat lagi."
sahut petugas yang mengantar Maya dengan senyuman paling indah yang dimilikinya,
"Nah sekarang ayo ikut aku anak manis!" matanya memberi isyarat
kepada Maya dan Mizuki untuk mengikuti kemana dia pergi.
“Tunggu
sebentar ya paman, dan tolong jangan tinggalkan aku lagi!?” Maya mengedipkan
matanya manja sebelum menghilang bersama Mizuki dibalik pintu kaca yang
sebagian kacanya diburamkan. Mizuki menahan senyumnya geli melihat atasannya
yang salah tingkah, rasanya seperti bukan Masumi yang dikenalnya.
Masumi
tidak bisa mencegahnya lagi, dia benar-benar tidak tahu harus berkata apa saat Maya memanggilnya Paman. Disaat genting
seperti ini ada-ada saja ulahnya, tak pelak Masumi pun tersenyum samar “Maya,
kau memang luar biasa...mampu membuatku tersenyum disegala suasana.” desahnya.
Lima
menit
berlalu begitu saja, pria itu masih sabar menunggu, sepuluh menit
kemudian gelisah mulai melanda "kenapa lama sekali?" batinnya,
rasanya satu batang rokok cukup untuk sekedar menenangkan hatinya tapi
dia enggan beranjak dari ruangan itu, bagaimana kalau terjadi sesuatu
dengan Maya dan dia tidak ada di situ pikirnya. Alih-alih
merokok dibukanya beberapa email melalui gadgetnya tapi itupun tidak
mampu
mengalihkan perhatiannya. Coba tidak ada Maya di dalam sana, pasti dia
tidak
akan seresah ini.
Hingga
akhirnya "Maaf membuat anda menunggu" seorang petugas muncul dari
balik pintu bersama Mizuki dan Maya.
"Apa
yang terjadi? Kenapa kalian lama sekali didalam?" Masumi bergegas
menghampiri mereka.
"Anda
bisa tenang sekarang, karena kami sudah mendapatkan donor yang cocok."
ujar petugas itu.
"Donor
yang cocok? Ta..tapi siapa.." kedua alis Masumi bertaut.
Maya
meletakkan jari telunjuknya didepan hidung dan bibirnya yang mungil
mengerucut membuat semacam bunyi "sssttt.."
Petugas
laboratorium tersenyum melihat ulahnya "Kami akan segera menghubungi
dokter dan untuk sementara kalian boleh pulang karena proses screening memerlukan waktu kurang lebih
24 jam hingga darah siap untuk proses transfusi besok." lanjutnya
menerangkan, mereka semua terdiam mendengarkan penjelasan singkat itu.
"Terima kasih banyak atas penjelasannya." Masumi mengangguk sekilas dan perawat itu membalasnya dengan tersenyum kemudian meninggalkan mereka bertiga .
"Terima kasih banyak atas penjelasannya." Masumi mengangguk sekilas dan perawat itu membalasnya dengan tersenyum kemudian meninggalkan mereka bertiga .
“Maaf
paman, tadi nona Mizuki sedikit takut saat diambil darahnya, jadi aku
menemaninya sampai selesai.” kata Maya langsung tanpa basa-basi, “Kurasa anda
harus memberinya libur hari ini, sepertinya dia butuh istirahat” lanjutnya.
Masumi terdiam, lalu bergantian menatap Maya dan Mizuki, seolah tidak percaya bahwa Mizuki takut jarum atau darah? Atau mungkin keduanya. “Terima kasih banyak atas bantuanmu Mizuki.” senyuman samar menghias wajahnya “Kurasa libur sehari bisa membuatmu segar kembali, Jadi kurasa kau pantas menikmati hari ini tanpa gangguan dariku.”
Masumi terdiam, lalu bergantian menatap Maya dan Mizuki, seolah tidak percaya bahwa Mizuki takut jarum atau darah? Atau mungkin keduanya. “Terima kasih banyak atas bantuanmu Mizuki.” senyuman samar menghias wajahnya “Kurasa libur sehari bisa membuatmu segar kembali, Jadi kurasa kau pantas menikmati hari ini tanpa gangguan dariku.”
“Wahhh...jadi
anda akan membebaskannya hari ini?” Maya kegirangan mendengarnya.
Mizuki
hanya terdiam menatap Maya penuh arti.
“Kenapa
anda diam saja, kapan lagi bisa liburan seperti ini?” goda Maya dengan senyum
lebar.
Mizuki
tersenyum sekilas “Terima kasih Pak Masumi, tapi saya akan kembali kekantor
saja, ada beberapa hal yang harus saya kerjakan.”
“Kau
yakin?” Masumi mengangkat alisnya sedikit heran.
Wanita itu mengangguk pelan “Saya permisi dulu Pak.” Membungkuk sekilas sebelum berbalik dan melangkahkan kakinya.
“Sepertinya proses pengambilan darah ini membuatnya menjadi sedikit pendiam.” gumam Masumi sambil melirik jam tangannya sekilas “Ayo Maya! Aku akan mengantarmu pulang.” Ajaknya kali ini dengan senyum lembut yang lagi-lagi membuat Maya meleleh.
Masumi
membukakan pintu mobilnya untuk Maya begitu mereka sampai di parkiran, “Terima
kasih” ucap Maya lirih, dan menyandarkan tubuh pada jok mobil setelah pintunya
tertutup, kepalanya sedikit pening. Masumi
memasang seat belt dan menghidupkan mesin mobil “Apakah kau keberatan kalau
kita makan siang dulu?” tanya Masumi “Aku tahu pasta yang enak di sekitar
sini.” tambahnya sambil menginjak gas.
Mereka
pun menikmati makan siang disebuah restoran bergaya Italia, menurut Masumi
pasta disini sangat enak dan seperti biasanya Maya menghabiskan makanannya
dengan lahap “Anda benar Pak Masumi, makanan disini memang enak” katanya sambil
memasukkan sendokan terakhir pastanya.
“Syukurlah
kalau kau suka” Masumi menyesap minumannya.
“Apakah nona Shiori akan baik-baik saja? Kira-kira kapan..” tanya Maya tiba-tiba.
“Dia akan baik-baik saja, kau tidak perlu terlalu mengkhawatirkannya” sela Masumi.
Sebenarnya Maya ingin bertanya lebih jauh tentang sakit yang diderita Shiori, tapi entah kenapa tiba-tiba dia tidak tertarik membicarakannya, keinginannya untuk menikmati saat-saat bersama Masumi jauh lebih besar, dan dia merasa Masumi pun sependapat dengannya.
“Semoga kondisinya segera membaik..” ucapnya tulus. Kemudian kembali sibuk dengan makanannya.
“Bagaimana
dengan latihanmu?” tanya Masumi mencoba mengalihkan perhatian.
“Ah..latihan ya?” seolah disindir kalau dia bolos hari ini membuatnya tersentak dan sedikit menumpahkan es krimnya “Baik, semuanya berjalan lancar.” sahutnya sambil mengalihkan pandangan dari gelas dan menatap Masumi dengan mata berbinar.
“Saya sudah bisa memahami perasaan Akoya, Bidadari Merah ini memang luar biasa ya.. apakah anda percaya tentang cinta tanpa syarat?” Maya mengambil gelas dan meneguk air putihnya.
Masumi tertegun “Memangnya ada yang seperti itu?” tanyanya.
Maya mengangguk semangat dan menelan airnya cepat “Cinta yang tak berharap untuk memiliki, walaupun mereka berdua tidak bisa bersatu di dunia ini, tapi mereka percaya bahwa cinta itu akan selalu ada dihati mereka masing-masing, itulah cinta Akoya, mencintai karena bahagia bisa mencintainya.” terangnya.
Pria itu terkesiap seakan terpaku ditempatnya duduk, tidak bisa bergerak bahkan sepertinya dia lupa untuk bernafas. “Maya..Bidadari Merah seperti apa yang akan kau perankan nanti.” batinnya.
“Pak Masumi...anda masih disini?” jari-jari Maya bermain diudara memutus lamunan Masumi.
“Aku tidak sabar melihat Akoyamu.” Hanya itu yang mampu dia ucapkan dan gadis itu membalasnya dengan senyuman lebar penuh semangat. Makan siang mereka pun berakhir dengan serentetan obrolan tentang Bidadari Merah, bisa dibilang pesona Bidadari Merah ini memang tidak ada matinya.
Apartemen
Maya tinggal beberapa blok lagi saat Masumi bertanya tiba-tiba “Ngomong-ngomong..apa
yang ingin kau bicarakan denganku tadi pagi dikantor?”.
“Oh..itu..” Maya bergumam tidak jelas.
Masumi menunggu sambil menepikan mobilnya karena mereka sudah sampai di apartemen Maya, “Aku bisa jadi pendengar yang baik kalau kau tak keberatan.” ujarnya ringan setelah mematikan mesin mobilnya kemudian menatap gadis yang duduk di sebelahnya dengan seulas senyum tipis menghias wajahnya.
Maya mengambil nafas dalam-dalam sebelum menghembuskannya
perlahan "Ini mungkin akan terdengar sedikit aneh, atau sangat aneh...saya
sendiri juga tidak tahu kenapa, tapi jujur saya bahagia waktu anda akan
mengajak saya ke Izu dan terlebih lagi saat anda bilang akan menunggu
saya..." sejenak dia terdiam mengatur nafas
"Walaupun sepertinya semua itu tidak akan terjadi?" lanjutnya sambil
tersenyum getir.
Masumi hanya menunduk menunggu gadis itu melanjutkan, karena tidak tahu apa yang harus dikatakannya, lidahnya kelu.
Masumi hanya menunduk menunggu gadis itu melanjutkan, karena tidak tahu apa yang harus dikatakannya, lidahnya kelu.
"Tapi..apapun yang akan terjadi, saya akan selalu percaya pada anda." tutur Maya dengan suara bergetar menahan tangis sambil menganggukkan kepalanya, berusaha meyakinkan pria di sebelahnya.
Masumi tercekat, tiba-tiba saja udara terasa berat seolah tekanan udara di dalam mobil berkurang drastis "Maya.." bisiknya, tangannya mengenggam kuat-kuat setir mobilnya, dadanya berdenyut nyeri.
Maya sudah akan mengucapkan beberapa kalimat lagi saat tiba-tiba
sesuatu yang kuat menariknya mendekat, sejurus kemudian kehangatan merayapi
seluruh tubuhnya. Masumi memeluknya dengan erat, lengan kokohnya melingkari
tubuh mungil Maya, matanya terpejam menghirup aroma wangi helaian rambut Maya.
Pria itu mengeratkan pelukannya saat Maya menyurukkan wajahnya pada dada bidangnya, tak ada yang bicara keduanya menikmati setiap detik yang begitu berharga itu dengan saling merasakan degupan jantung masing-masing.
Pria itu mengeratkan pelukannya saat Maya menyurukkan wajahnya pada dada bidangnya, tak ada yang bicara keduanya menikmati setiap detik yang begitu berharga itu dengan saling merasakan degupan jantung masing-masing.
“Ya Tuhan..” desah Maya jantungnya berdebar keras “Maafkan
aku..kali ini saja kumohon ijinkan aku berada dalam pelukannya” doanya dalam
hati saat terlintas perasaan bersalah kepada Shiori. Maya memejamkan matanya
seolah menghafalkan setiap rasa yang dirasanya, merekamnya dalam ingatan setiap
hembusan nafas Masumi yang menyapu helaian rambutnya, menghirup dalam-dalam
wangi tubuh Masumi yang menguar menembus setelan Armaninya.
“Maafkan aku...” bisik Masumi di telinga Maya “Padahal kau
begitu mempercayaiku, tapi aku malah mengacaukannya, Maafkan aku telah mengecewakanmu”
lanjutnya lirih.
Pikirannya kalut, ingin rasanya mengungkapkan perasaannya saat itu juga, tapi apakah ini saat yang tepat, berbagai pertimbangan berkecamuk dalam benaknya.
“Maya...” desahnya.
Pikirannya kalut, ingin rasanya mengungkapkan perasaannya saat itu juga, tapi apakah ini saat yang tepat, berbagai pertimbangan berkecamuk dalam benaknya.
“Maya...” desahnya.
“Sebentar lagi, ijinkan saya meminjam bahu anda sebentar
saja..” sahut Maya lirih.
Tak ada yang bisa Masumi lakukan selain memperat pelukannya, dadanya sesak menyadari bahwa dia telah menyakiti gadis itu untuk yang kesekian kalinya. Masumi mendekap Maya semakin kuat, benar-benar tak ingin melepasnya, tak akan pernah rela kehilangan sesuatu yang bahkan belum pernah dia miliki sepenuhnya. “Maafkan aku..” lagi-lagi hanya itu yang bisa dikatakannya.
Tak ada yang bisa Masumi lakukan selain memperat pelukannya, dadanya sesak menyadari bahwa dia telah menyakiti gadis itu untuk yang kesekian kalinya. Masumi mendekap Maya semakin kuat, benar-benar tak ingin melepasnya, tak akan pernah rela kehilangan sesuatu yang bahkan belum pernah dia miliki sepenuhnya. “Maafkan aku..” lagi-lagi hanya itu yang bisa dikatakannya.
Entah keberanian darimana yang mendorong gadis itu menyentuh
rambut Masumi, meremasnya lembut “Tidak apa-apa...Anda tidak perlu khawatir”
bisiknya pelan mencoba tegar, walaupun tidak demikian dengan hatinya.
Masumi hampir saja mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya
ketika Maya tiba-tiba berbisik “Ada Mawar Ungu yang akan selalu menjagaku.”
Masumi tersentak dan perasaan tercabik-cabik yang sama kembali
menyerangnya “Siapa?” tanyanya seperti orang bodoh.
‘Mawar Ungu” ulangnya sambil melonggarkan pelukannya dan
memasung tatapannya pada mata Masumi, menunggu.. “Kumohon Pak Masumi, katakan bahwa kaulah Mawar Ungu itu..”
batinnya.
“Oh..penggemarmu itu” Masumi tersenyum samar “Yah..tentu saja.”
lanjutnya datar.
Maya menunduk sejenak, memalingkan wajahnya ke jendela dan
menggigit bibirnya “Kenapa anda tidak mau
mengakuinya? Kenapa Pak Masumi?” rasa kecewa menelusup dalam hatinya.
Selama beberapa saat mereka hanya duduk di sana, tidak ada yang
bicara, keheningan menyellimuti keduanya, sesekali terdengar deru lalulintas di
kejauhan.
“Masuklah Maya, besok kau ada jadwal latihan, bukan?” suara
Masumi memecah kebisuan. Sebenarnya dia tidak keberatan jika harus bersama Maya di dalam
mobil itu semalaman, bahkan mungkin selamanya kalau boleh, tapi itu kan tidak mungkin.
Akal sehatnya memaksanya untuk menyudahi pertemuan mereka.
Maya tersentak dan mengerjapkan matanya “Ahh..kenapa anda
mengingatkan akan hal itu? Anda benar-benar ahli merusak suasana.” dengusnya “Besok
beliau akan membunuhku.” katanya panik teringat bahwa hari ini telah bolos.
“Hmm..sepertinya besok akan jadi hari yang berat buatmu” Masumi
tersenyum geli “Kau tidak akan bisa lari dari cengkeraman Pak Kuronuma”
lanjutnya.
“Oh..terima kasih banyak atas perhatiannya, anda benar-benar
pria yang baik.” gumamnya jengkel.
Mau tidak mau Masumi tergelak, inilah yang selalu membuatnya
betah berada di dekat Maya, semuanya mengalir apa adanya, tanpa beban dan dia
bisa menjadi dirinya sendiri.
“Terima
kasih banyak sudah mengantar saya Pak Masumi” kata Maya,
begitu mereka keluar dari mobil, seraya mendongak dan melihat jendela
apartemennya sepertinya Rei sudah berangkat ke tempat latihan pikirnya.
Beberapa hari ini Rei sibuk latihan dan cafe tempatnya bekerja part time
sedang ramai
sehingga dia baru bisa pulang lewat tengah malam.
“Mmm..Pak Masumi,” Maya termangu, enggan untuk beranjak.
“Mmm..Pak Masumi,” Maya termangu, enggan untuk beranjak.
“Ya” sahut Masumi.
Sebenarnya ada yang ingin ditanyakannya sejak tadi, tapi selalu ditundanya. Apakah tidak apa-apa kalau dia bertanya? tapi untuk apa? Ah..sudahlah.
“Apakah anda mencintainya?” tanya Maya tiba-tiba.
Masumi bergeming, raut wajahnya berubah menjadi dingin, sehingga Maya ngeri dibuatnya. “Maaf, lupakan saja..” ujarnya menyesali kelancangannya, merasa bodoh karena telah menanyakan sesuatu yang bukan menjadi urusannya. Sadarlah Maya, pria ini akan segera menikah, tentu saja dia mencintainya, apa yang kau harapkan, huh?
“Tidak.”
“Hah? Apa dia bilang?” Maya tercengang, seakan tidak percaya dengan apa yang di dengarnya.
“Aku tidak mencintainya.” lanjut Masumi tegas.
Maya jadi bingung bagaimana menanggapinya, apakah harus senang atau prihatin, tapi entah kenapa ada perasaan lega menyusup dalam hatinya. Setidaknya dia tahu bahwa Masumi tidak mencintai tunangannya itu, lalu.. siapa? Wanita yang dicintainya? Entahlah...
“Oh..baiklah aku masuk dulu kalau begitu, sekali lagi terima kasih banyak untuk hari ini.” katanya gugup sambil membungkuk sekilas.
“Maya, aku menunggu Bidadari Merahmu.” Kata Masumi pelan.
“Saya tahu itu.” Sahut Maya ringan “Tenanglah Pak Masumi, saya tidak akan mengecewakan Anda.” Katanya dengan senyum mengembang kemudian berputar dan berjalan menuju pintu masuk apartemennya.
Bidadari Merah...ya hanya ini satu-satunya hal yang bisa menghubungkanku dengannya, aku akan menjadi Bidadari Merah yang akan membuatnya bangga, yang tidak akan pernah bisa dilupakannya, dan saat itu juga semangat berlatihnya membara seolah ada aura panas mengelilingi tubuhnya. Sementara itu Masumi memandang punggung Maya yang berjalan menjauh dan saat itu juga rasa nyeri menggerogoti hatinya, lubang itu terasa semakin dalam.
Masumi memutuskan untuk kembali ke kantor, tak ada penghibur sebaik dokumen-dokumen yang menumpuk di atas mejanya. Paling tidak bekerja adalah satu-satunya hal yang masih dapat membuatnya berpikir secara rasional. Angka-angka itu sukses membantunya sedikit melupakan kisah cintanya yang tak berujung.
“Mizuki, apa yang kau lakukan disini?” Masumi tertegun saat melihat Mizuki duduk di belakang mejanya.
Wanita itu mendongak dan menyahut ringan “Bekerja seperti biasanya.”
“Bukankah aku sudah mengijinkanmu untuk libur?” sahut Masumi heran.
“Saya tidak berhak untuk mengambil libur itu.” Kata Mizuki pelan tapi Masumi dapat mendengarnya dengan sangat jelas.
Kedua alis Masumi bertaut “Apa yang sebenarnya terjadi?” tanyanya dengan nada rendah.
Sekretarisnya itu hanya menatapnya penuh arti “Anda sangat mengerti maksud saya, bukan?” jawabnya datar kemudian melanjutkan pekerjaannya. Mata Masumi melebar kaget, kepalanya menggeleng-geleng seakan tidak percaya Maya melakukan semua ini.
Hari
sudah menjelang siang saat wanita itu dipindahkan ke salah satu paviliun yang
ada di rumah sakit itu. Beberapa perawat tampak mengecek peralatan yang ada di
ruangan bernuansa hijau lembut itu dan satu diantaranya mencatat instruksi dari
Dokter. Kondisi Shiori sudah stabil, proses transfusi darahnya berjalan lancar.
Tampak Nyonya Takamiya yang setia menunggu sambil menggenggam tangan putri
semata wayangnya itu.
“Anda sudah bisa tenang Nyonya, kondisi nona Shiori sudah membaik.” Kata Dokter optimis.
“Kira-kira kapan dia boleh pulang?” tanya Nyonya Takamiya sambil membetulkan letak selimut putrinya.
“Anda sudah bisa tenang Nyonya, kondisi nona Shiori sudah membaik.” Kata Dokter optimis.
“Kira-kira kapan dia boleh pulang?” tanya Nyonya Takamiya sambil membetulkan letak selimut putrinya.
“Kalau kondisinya seperti ini terus, kurang lebih dua sampai tiga hari anda sudah bisa mengajaknya pulang.” Ujar Dokter sambil tersenyum.
“Oh..Syukurlah.” desah Nyonya itu lega.
Dokter itu tersenyum “Baiklah, saya permisi dulu Nyonya.” Katanya sambil membungkuk dan berlalu dari hadapan Ibu dan anak itu.
“Terima kasih banyak Dok.” Nyonya Takamiya kembali duduk di samping tempat tidur dan menatap sedih putri kesayangannya yang masih terlelap, tangannya membelai lembut rambut hitam yang tergerai begitu saja diatas bantal, padahal biasanya rambut itu tertata rapi dan tergerai indah. Shiori tampak layu walaupun masih terlihat cantik, matanya cekung dan kulitnya sedikit keriput karena berat badannya menyusut drastis.
“Ya
Tuhan, kenapa semua ini harus menimpa putriku? Apa salah dan dosanya sehingga
harus menerima semua penderitaan ini?” desahnya. ‘Andai saja
aku bisa menggantikan posisinya, aku rela melakukannya.” Lanjutnya sambil
menyeka air mata yang tak mampu ditahannya lagi. “Bertahanlah Shiori, kau pasti
bisa melaluinya, aku yakin kau pasti bisa.” bisiknya sambil mencium pipi Shiori
yang tak lagi merona.
Tak
lama setelah Nyonya Takamiya meninggalkan paviliun, dua orang perawat masuk
sambil membawa troli yang berisi berbagai macam peralatan medis dan obat.
“Kurasa dia sedang tidur” kata salah seorang dari perawat itu, suaranya seperti seorang anak kecil dan bicaranya cepat seolah tidak ada titik dan koma, “Untungnya golongan darah gadis itu cocok, coba kalau tidak, entah apa yang terjadi?” lanjutnya.
“Kurasa dia sedang tidur” kata salah seorang dari perawat itu, suaranya seperti seorang anak kecil dan bicaranya cepat seolah tidak ada titik dan koma, “Untungnya golongan darah gadis itu cocok, coba kalau tidak, entah apa yang terjadi?” lanjutnya.
“Kau ini terlalu berlebihan.” sahut temannya.
“Siapa namanya? Ya Tuhan kurasa aku sudah semakin tua, aku bahkan tidak bisa mengingat sebuah nama.” desis perawat bersuara seperti anak kecil itu sambil menepuk jidatnya sendiri.
Temannya mendengus ‘Dasar nenek-nenek, ini sudah yang ketiga kalinya hari ini, namanya Maya ingat itu baik-baik!”
Shiori tersentak mendengar obrolan kedua perawat itu “Apa aku tidak salah dengar?” batinnya dan buru-buru menutup matanya saat mereka berjalan mendekat. Kedua orang perawat itu sibuk mengukur tekanan darah, mengecek cairan infusnya dan mencatat semuanya pada buku status pasien.
“Syukurlah keadaannya semakin membaik.” Kali ini temannya yang berbisik sambil menghela nafas lega. Mereka membereskan peralatannya dan pergi meninggalkan sejuta tanda tanya di benak Shiori.
Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah anak itu mendonorkan darahnya untukku? matanya terbelalak menatap kedua tangannya yang terangkat ke atas “Darah Maya mengalir ditubuhku? Tidak! Ini tidak boleh terjadi!!” Shiori menggelengkan kepalanya kuat-kuat seakan-akan hal itu bisa membuang segala pikiran buruknya, dicobanya untuk duduk tapi tak bisa, kepalanya terasa pening. Shiori histeris, jarinya mulai mencakar liar, ditariknya jarum infus yang bertengger di punggung telapak tangannya dengan kasar, darah pun mengucur membasahi selimutnya.